Mengenai Saya

Foto saya
Singkawang, Kalimantan Barat, Indonesia

Minggu, 04 Desember 2011

Ritual Balian



Kearifan yang Tersisa dari Peradaban Silam

Belian niscaya merupakan anak kandung shamanisme, dunia mistis-religius yang bersentuhan dengan aura alam gaib. Namun dibalik kesan magis itu, terungkap jejak kearifan pengobatan tradisional yang bersumber dari pengalaman hidup turun temurun. Pada tahun 1887, berita mengenai dunia medium metafisika di Borneo mulai terungkap dalam khasanah literatur etnologi. Wilken dalam artikel bertajuk “Bijdragen tot de Taal, Land-en Volkenkunde van Nederlansch Indie”, membahas dunia medium metafisika orang Dayak yang kala itu disebut shamanisme.
Terminologi shaman bermula dari India. Bermakna mengenai dunia magis-religius. Dalam konteks itulah, Belian menjadi perbincangan sepanjang denyut peradaban. Bahkan Kontrolir Pamong Praja (Controleur bij het Binnenlandsch Bestuur) menulis mengenai “Kepercayaan Suku Dayak di Tanah Landak dan Tayan”, dengan sangat detail sebagai wujud kekaguman pada peradaban Dayak.
Sekalipun waktu berlari tunggang langgang dan ruang kian menghimpit gerak kehidupan manusia Dayak, namun shamanisme, termasuk Belian, sebagai peradaban purba, masih juga bergemerincing di tengah gempuran peradaban modern. Meski denyutnya kian melemah, namun riwayat shamanisme sepertinya tak lekang oleh tamparan ruang dan waktu.
Varian Selingkar Belian
Menurut keyakinan orang Dayak, manusia mempunyai dua jiwa (beruwa), yakni mata kiri dan mata kanan. Kedua beruwa tidak terikat pada tubuh, mereka dapat meninggalkan tubuh kapan mereka mau. Itulah ihwal seseorang menjadi sakit. Namun dengan bantuan roh-roh dari Apo Lagan, para Dayung atau Pemeliatn dapat mengembalikan jiwa yang mengembara kembali ke dalam tubuh, sehingga terjadi kesembuhan pada orang yang sakit.
Orang Dayak Bahau beranggapan, pengaruh buruk terhadap lingkungan alam disebabkan tindakan makhluk gaib. Mereka juga beranggapan, semua benda hidup dan benda mati mempunyai sifat-sifat seperti manusia. Maka mereka tidak mau memusnahkan benda dengan membakarnya. Semua benda yang pernah memainkan peran dalam hidup seseorang, disimpan dan setelah kematian, benda itu dimasukkan dalam karung dan tidak pernah diusik. Namun benda keramat itu tidak dimusnahkan.
Personifikasi orang Dayak Kayan tentang lingkungannya merupakan cer¬min kehidupan, yang bagi mereka merupakan bungkus jasmani yang dihuni dua jiwa: mata kanan dan mata kiri. Kalau salah satu meninggalkan tubuh, niscaya mereka mengalami perasaan merasa sakit, mimpi buruk atau mengalami peristiwa naas. Kalau ia tidak berhasil mengembalikan jiwanya, pembungkus jasmani akan meninggal.
Para Dayung sanggup mengembalikan beruwa. Namun mereka memerlukan bantuan roh-roh dari Apo Lagan. Bila Dayung berhasil mengembalikan dan me-nangkap beruwa, jiwa itu dibebaskan dan dihembuskan ke kepala. Setelah berhasil, diperlukan masa istirahat selama sehari untuk proses kesembuhan. Kecuali jika jiwanya berkelana kembali.
Pada waktu kematian, kedua beruwa meninggalkan jasad. Mata kanan mengadakan perjalanan ke dunia roh, Apo Kesio. Sedangkan mata kiri, tinggal di bumi dan mungkin saja pindah ke binatang seperti rusa, monyet, ular dan burung tingang, yang semua jenis binatang itu pantang dimakan orang Dayak Kayan. Setelah kematian, mata kanan mengadakan perjalanan ke Apo Kesio, harus menempuh perjalanan sulit dan berbahaya. Itulah sebabnya mayat orang Kayan senantiasa dilengkapi dengan segala sesuatu yang bermanfaat dalam perjalanan di dunia roh.
Pemikiran kosmologi Dayak niscaya menjadi landasan bagi pelaksanaan ritual Belian (ritual penyembuhan atau merawat orang hidup). Menurut orang Dayak Benuaq, Belian berasal dari kata Lietn yang berarti pantang atau tabu. Maka Belian dimengerti sebagai ikhtiar manusia untuk mencegah musibah yang menimpa manusia dan alam semesta.
Orang Dayak Benuaq membedakan ¬upacara yang berkaitan kehidupan dan kematian. Terminologi Belian hanya digunakan untuk ritual adat yang berkaitan dengan kehidupan. Sedangkan yang berkenaan dengan kematian, digunakan istilah Wara atau Sentangih.
Lazimnya dalam upacara Belian digunakan peralatan musik antara lain gong, gimar, kelentangan. Acapkali Pemeliatn mengucapkan mantra seraya menyanyi, pun kadang menghentakkan kaki di lantai kayu sehingga menimbulkan bunyi gemerincing dari giring-¬giring yang dikenakan di kakinya. Ruang upacara dan sekitar lokasi Belian dipenuhi hiasan dan sesaji yang sarat dengan makna simbolis. Upacara Belian dapat dilakukan oleh pria maupun perempuan. Bila pria disebut Pemeliatn Turaatn, sedangkan perempuan disebut Pemeliatn Bawe.
Bila seseorang jatuh sakit, orang Benuaq niscaya menyelidiki apa yang menyebabkan penyakit itu. Bila telah diketahui penyebabnya, diadakan Belian. Jenis upacara Belian amat tergantung pada ragam penyakit. Secara umum komunitas Dayak mengenal penyakit berdimensi jasmani dan rohani, yang selain diderita secara personal, dapat pula berakibat secara komunal.
Namun ada pula penyakit atau musibah yang disebabkan pelanggaran aturan adat. Di kalangan komunitas Benuaq, seseorang yang belum cukup usia, tidak boleh bicara tentang adat walau dia mengetahuinya. Seseorang yang bukan berasal dari golongan atau keturunan bangsawan (Mantiq Tatau), tidak boleh berbicara ihwal adat. Demikian pula halnya, yang bukan Pemeliatn atau Pengewara, tidak boleh berbicara adat Belian. Bila ketentuan ini dilanggar, mereka akan ditimpa kecelakaan fisik, seperti di patuk ular atau tertimpa pohon tumbang.
Semua penyakit menurut orang Dayak Benuaq, diyakini disebabkan oleh gangguan roh-roh gaib. Beberapa roh yang dikenal komunitas Benuaq antara lain roh pahlawan (Nayuq), roh penguasa air (Juwata), roh penguasa tanah (Tonoy), roh yang mengendalikan manusia (Kelelungan dan Liau). Kesemua roh tersebut pada hakekatnya dapat dimintai pertolongan bila diperlukan oleh manusia.
Tatkala pertama kali seseorang terkena penyakit, dalam tradisi Dayak Benuaq dilakukan Nyenteu yang bertujuan mendiagnosa penyebab dan jenis penyakit. Selanjutnya ikhtiar penyembuhan dapat dilakukan oleh Pemeliatn Turaatn (Belian Sentiyu). Namun juga dapat dilakukan oleh Pemeliatn Bawe dengan upacara Ngentas.
Di kalangan orang Dayak Benuaq dikenal ragam upacara belian, diantaranya adalah: Bawo; Beneq/Luwangan; Dusun; Jamu; Kedusan; Melas; Dewa; Nular; Kenyong/Kuyang; Pantun; Ranteu/Baraga Bagantar; Semur; Sentiyu; Serupai; Sipung/Simpul; Timek; Tuung Puntung; Gugu Tautn/Nalitn Tautn.
Sejatinya berdasarkan pendekatan fungsional, upacara ritual Belian dapat diketegorikan untuk tujuan preventif, pengobatan dan harmonisasi semesta, meski acapkali pada Belian tertentu memiliki percampuran fungsi. Belian sebagai upaya preventif mencakup Belian Bawo, Renteu, Beneq dan Timek.
Sedangkan Belian untuk pengobatan mencakup Belian Bawo, Dewa, Jamu, Kedusan, Melas, Pantun, Semur, Sentiyu, Serupai, Sipung/Simpul, Adapun yang berkaitan dengan harmonisasi semesta mencakup Belian Nalitn Tautn, Nukar, Dusun, Kenyong/Kuyang dan Tuung Puntung.
Selain yang berkaitan dengan kehidupan, di kalangan orang Dayak Benuaq dan Toyooi juga dikenal upacara kematian, mencakup Kenyau, Paramp Api dan Kewangkey.
Pertautan Medis dan Magis
Hakekat ilmu penyakit pada suku Dayak adalah pemahaman, bahwa roh pada tubuh manusia memiliki keterbatasan. Namun roh itu dimaknai dalam arti luas, meliputi segala unsur yang berada dalam diri manusia, yaitu jiwa dan zat hidup, pengertian itu tak dapat dipisah-pisahkan. Tiada medium yang dapat menampung roh dalam dirinya sebelum sukma menying¬kir dari badan. Menurut orang Dayak, sukma sejatinya sehakekat dengan roh, yakni zat kebatinan personal.
Dalam ritual upacara Belian, roh yang masuk melalui medium Pemeliatn akan berperan sesudah ia berhasil mendesak ke luar rohnya sendiri. Kemudian sukma keluar meninggalkan tubuh medium, mengembara ke tempat "persemayaman" para roh, seraya berusaha mengetahui bagaimana caranya menyembuhkan si sakit yang menjadi pasiennya.
Sesungguhnya hanya ada satu roh dalam satu tubuh. Penyebab penyakit, ialah roh jahat yang berhasil merampas dan menguasai tubuh si sakit. Maka menurut mereka, penyebab penyakit adalah, Pertama, tidak hadirnya roh, karena telah meninggalkan tubuh untuk sementara. Kedua, kemasukan roh jahat, atau karena adanya benda-benda yang gaib dalam tubuh.
Dalam keyakinan mereka, sukma, roh atau jiwa dimanifestasikan dalam bentuk binatang atau benda. Dalam keadaan mimpi atau badan sakit, jiwa itu meninggalkan tubuh dalam bentuk ular, jangkerik atau cemara rambut (Wilken, 1884). Maka perawatan dalam upacara Belian dimaknai sebagai upaya mengembalikan sukma ke dalam tubuh; mengusir roh jahat atau menghilangkan benda maupun hewan pe-nyebab penyakit.
Peran terpenting dalam tata cara pengobatan Belian adalah pembacaan mantra pengusiran roh jahat dengan bantuan Pemeliatn. Jiwa pasien yang telah mengembara, harus dibawa kembali agar keseimbangan tubuh terpulihkan. Namun mereka tidak tenggelam dalam kepercayaan terhadap roh-roh. Maka, orang Dayak Bahau mengembangkan sistem larangan makanan yang diterapkan pada setiap penyakit, di samping pembacaan mantra.
Mengenai pengobatan tradisional melalui ritual Belian, komunitas Dayak memiliki pengetahuan dan kearifan yang khas. Komunitas Dayak Benuaq misalnya, membuktikannya dalam upacara Belian dengan memanfaatkan ramuan obat dari tetumbuhan hutan. Dalam konteks ini, mereka mengenal obat-obatan tradisional untuk pelbagai penyakit yang dibuat dari akar atau pepohonan tertentu.
Lazimnya, tatacara pengobatan senantiasa disertai pantangan untuk setiap jenis penyakit. Hal itu mempertegas, betapa dahsyat pengetahuan mereka tentang pengobatran tradisional yang telah teruji secara turun temurun. Maka tak berlebihan, bila 107 tahun silam, Dr. Anton W. Nieuwenhuis melontarkan kekaguman, “Cara pengobatan itu merupakan prestasi yang luar biasa. Kita pun pantas mengagumi, karena sejumlah pantangan itu sesuai dengan kaidah pengetahuan kedokteran.”
Dalam konteks medis, orang Dayak berusaha menyembuhkan penyakit dengan melarang menyantap makanan terten¬tu, mandi, melakukan pekerjaan berat, dan sebagainya. Untuk penyakit yang berbeda-¬beda terdapat peraturan berbeda pula yang telah ditetapkan berdasarkan pengamatan dan pengalaman turun temurun.
Larangan bagi penderita diare: nasi keras, air gula tebu, pisang, nasi ketan, pisang rebus, minum air dingin, beberapa jenis ikan dan mandi pada waktu air dingin; yang diperbolehkan ialah makan nasi lembut dan ikan yang balk. Sedangkan larangan bagi penderita demam: air dingin, air gula tebu, gula, kue-kue, dan mandi pada waktu air tinggi.
Larangan bagi penderita batuk: makan keladi, gula, air gula tebu, nasi ketan yang dibakar dan beberapa jenis ketimun, merokok, menyirih, kerja keras. Sedangkan larangan bagi penderita radang lutut: berjalan, turun dari tangga, nasi yang kering dan keras, ikan bertulang, daging babi, telur, garam, dan daun pohon yang dapat dimakan. Juga terhadap penyakit kulit, sistem larangan diterapkan. Selama masa peng¬obatan, pasien tidak boleh mandi, tidak boleh berkeringat dan tidak menggaruk. Selain itu juga dilarang makan manis-manisan, bambu muda, keladi, pucuk paku, garam, daging babi, cabai, dan makanan dari tepung.
Sesungguhnya cara pengobatan itu merupakan prestasi yang luar biasa bagi orang Dayak. Terlebih karena sebagian besar larangan atau pantang sesuai dengan pengetahuan medis. Cara pengobatan orang Dayak Kayan terhadap penyakit kulit amat mujarab. Dua di antaranya adalah orokup, daun cassia alata dan nyerob bulan sejenis minyak hitam berbau ter, yang mengalir keluar dari kayu hitam sebuah pohon. Setiap hari orang Kayan menggosok tubuhnya dengan orokup, dan mereka berhasil menghilangkan kurap.
Cara pengobatan orang Dayak Kayan lainnya adalah pengambilan darah, mencacah, dan pengurutan, terutama pada bagian tubuh yang nyeri dan bengkak. Pengambilan darah dilakukan dengan membuat banyak sayatan pendek dengan pisau kecil yang tajam. Pembuatan rajah pada bagian kulit sama fungsinya dengan pengambilan darah. Pada waktu sakit perut atau sakit punggung, pasien biasanya diurut, yang lebih mirip meremas daripada menggosok.
Namun seiring dengan kemajuan zaman, pengetahuan pengobatan tradisional pada suku Dayak justru kian punah. Selain tiadanya pewarisan kepada generasi penerus, kerusakan sumber daya alam akibat eksploitasi hutan juga menjadi penyebab hilangnya ramuan obat tradisional yang tumbuh di belantara.
Namun yang lebih tragis, posisi strategis Pemeliatn terutama berkaitan dengan pengobatan tradisional, kini telah diambil alih oleh para petugas kesehatan (paramedis) melalui praktik pengobatan modern. Puskesmas dan jajarannya berperan signifikan menghancurkan pengetahuan dan kearifan orang Dayak dalam hal pengobatan.
Pertarungan antara “magis yang mewakili peradaban purba dan medis yang mewakili peradaban modern” telah dimenangkan oleh kubu peradaban modern. Dan Belian tampil sebagai tumbal peradaban. (*)
Oleh: Roedy Haryo Widjono AMZ
Kenangan untuk almarhum Kakek di Lou Benung

4 komentar:

  1. Mantap bro,, mari kita tetap junjung tinggi sejarah dan adat istiadat kita.

    www.samuadup.com

    BalasHapus
  2. Mantap ken...
    Mari junjung tinggi budaya uluh itah di kalimantam

    BalasHapus
  3. Terima kasih telah mempublikasikan naskah saya.
    Roedy Haryo Widjono AMZ

    BalasHapus